Ki Sukma Rahayu
sukmarahayu70@yahoo.com
In the Name of God, the Merciful, the Compassionate, Assalaam Alaikum Warahmatullah Wabarakatuhu, Welcome to the Path to Peace, Sincerely Yours is also friendship.
Sang Maha Meliputi semua materi, semua cahaya, semua energi, semua getaran, semua daya, semua gerak, semua pikiran, semua persepsi, semua kehendak, semua penglihatan, semua pendengaran, semua rasa, semua waktu, semua jarak, semua dimensi, semua ruang, semua dunia, semua akhirat, semua syurga, semua neraka, semua wujud, semua malaikat, semua makhluk, semua sifat, semua baik, semua buruk, semua senang, semua susah, semua bahagia, semua sedih, semua aksara, semua kata, semua kalimat, semua bunyi, semua hidup, semua mati, semua nafas, semua apa saja.., bahkan meliputi semua kesadaran…
RUANGAN yang merupakan realitas dari sebuah kalimat sederhana yang membawa kesadaran kita untuk menafikan segala sesuatu, LAA ILAHA…!. Ruang yang tidak ada apa-apa lagi disitu yang bisa kita nafikan (tiadakan). KOSONG…, HENING…, ABADI…, AL BATHIN…, ALIF LAM MIM…, NUN…
Masalahnya adalah, saat kita ingin menyadari kekosongan ini, kita dihadapkan pada banyak referensi yang tidak mudah untuk dimengerti. Kita digiring kepada pengetahuan-pengetahuan yang rumit. Semakin rumit ilmunya, maka itu dikatakan semakin hebat. Makanya untuk menemukan suasana kekosongan ini saja, kita juga berumit-rumit ria. Haruslah begini, haruslah begitu, haruslah begiti, haruslah begito, haruslah begita. Akhirnya kita jadi pusing sendiri…
Padahal siapapun juga, siapa saja, sebenarnya punya kesempatan yang sama untuk bisa menyadari adanya kekosongan abadi ini. Sesuatu yang tidak perlu dicari-cari dan dibayang-bayangkan. dan kosong kok dicari dan dibayangkan?. Ya tidak bakalan ketemu. Sebenarnya kita tinggal DEKONSENTRASI…, KOSONG…, lalu tunjuk saja INI, selesai sudah…
Kalau ada yang masih bingung juga, maka sebuah teknik Sufi dan Para Sahabat Nabi yang amat sederhana berikut barangkali bisa dijadikan sebagai alternatif cara yang patut dicoba. Yaitu teknik NO CONFESS/TIDAK MENGAKU. Ya…, tidak mengaku…!. Apakah itu sulit. Jadilah tidak mengaku pintar, tidak mengaku hebat, tidak mengaku khusyu, tidak mengaku bisa, tidak mengaku tersiksa, tidak mengaku sedih, tidak mengaku hidup, tidak mengaku ada, tidak mengaku apa saja…
Dan bagaimana mau tidak mengaku kalau selama ini kita diajarkan untuk mengaku-ngaku. Ini milikku, ini tanganku, ini dadaku, ini hartaku, ini pintarku, ini bisaku, ini seribu pengakuanku… Dan semua pengakuan kita itu sudah karatan berada didalam ceruk-ceruk memori otak kita. Anehnya lagi, semakin kita tidak mengaku, malah sebaliknya pengakuan kita itu semakin pekat muncul didalam pikiran kita. Saat kita mengaku tidak hebat, maka yang muncul didalam pikiran kita malah kita yang hebat. Saat kita mengaku tidak sombong dan angkuh, maka yang muncul didalam pikiran kita malah saya sombong dan angkuh. Cobalah kalau tidak percaya.
So Insya Alloh Begitu..Pepatah Para Al-Irsyad,Al-Ghauts,Alh-Ma’qul,Ahl-Haqiqah,Ahl-allah dan Ahl-al Yaqn…
Ya Insya Alloh, kalau kita mencoba untuk tidak mengaku itu dengan pikiran kita. Untuk tidak mengaku itu, kita masuk kedalam alam memori pikiran kita. Bahwa untuk mengaku tidak hebat itu caranya begini dan begitu, untuk mengaku tidak sombong itu kita harus begini dan begitu. Hanya sekedar definisi-definisi saja kesemuanya itu.
Padahal sombong itu adalah rasa. Rasa sombong. Begitu juga dengan rasa-rasa yang lainnya, seperti rasa hebat, rasa angkuh, rasa bisa, rasa hidup, rasa kaya, rasa ada… Dan jadilah kita menjalankan rasa itu dalam setiap langkah kehidupan kita. Saat dada kita dilekati oleh rasa angkuh, maka kita akan menjalankan keseharian kita dengan rasa angkuh itu. Kepada siapa saja kita akan angkuh. Malah semakin lemah dan rendah orang lain yang ada dihadapan kita, maka rasa angkuh itu akan semakin kental dan pekat pula munculnya. Dan kita sangat-sangat terbiasa masuk dan terikat dengan rasa angkuh itu. Kita dililit oleh rasa angkuh itu, seperti lilitan seekor ’ular python’ yang super besar. Kita terengah-engah seperti kesulitan bernafas. Semakin dalam kita masuk kedalam ruangan rasa angkuh itu, semakin sesak pula nafas kita. Malah sesak nafas kita itu akan lebih parah lagi kalau ada orang lain yang ’menggemai’ (menyentuh) rasa angkuh kita itu dengan rasa angkuh miliknya, yang menurut kita rasa angkuh dia jauh dibawah rasa angkuh kita. Sesak dan menyiksa sekali.
Oleh sebab itu untuk memahami rasa itu, Para Al-Hadrah Al-Uns/Maqom Mabahtulloh janganlah gunakan mata, telinga, lidah, dan kulit kita. Untuk itu gunakanlah dada kita. So…, rasa angkuh dan sombong, rasa mengaku itu tadi, ternyata letaknya ada di QOLBU kita.
Ada aku dan ada Di QOLBUKU. Aku menjadi pengamat atas dadaku. Aku menjadi terpisah dengan dadaku. Tuh ada dadaku dibawahku. Aku berada diatas dadaku, diatas semua rasa, ”balil insanu ’ala nafsihi bashirah”,(al Qiyamah 14).
Perjalaan Haqeqat Ruhaniyah TajaliaH Dan Sangat menakjubkan sekali…, begitu kita berhasil menjadi pengamat atas dada kita dengan arif, kita seperti keluar dari dada kita. Kita seperti berada diatas semua rasa kita. Seketika itu pula kita akan terbebas pula dari berbagai rasa pengakuan yang tadinya menyergap kita. Sebab aku ternyata adalah wujud yang tidak pernah mengaku apa-apa, karena aku memang tidak pernah terikat dengan berbagai bentuk pengakuan. Aku adalah wujud yang melampui semua rasa pengakuan. Aku adalah wujud yang semurni-murninya wujud, Ar Ruh.
Aku adalah wujud yang tidak terpengaruh oleh rasa senang maupun sedih. Aku adalah diri yang tidak terikat oleh rasa takut, rasa khawatir ataupun rasa tenang. Aku adalah wujud yang berada dalam ruang kekosongan dari segala pengakuan. Inilah makna Laa ilaha.. yang sebenarnya….quoting from the Quran:
‘And give good tidings to the humble.’ [al-Hajj, 22:34] (Wa-bashshiri-lmukhbitin.)” Akulah Ar Ruh yang sangat dekat dengan Tuhan, Sang Pemilikku. INI…
Kalau sudah begini, kita tinggal selangkah lagi saja untuk menjadi seorang yang bertauhid, seorang mukmin. Kita tinggal MEMANCAR mengarah ke INI. Lalu panggil Sang INI yang menyebut Diri-Nya dengan Nama ALLAH…, sudah mukmin deh kita.
Dan setelah itu kita siapkan saja DADA kita untuk menerima berbagai pemahaman dan pengajaran dari Allah terhadap apa-apa yang tidak kita ketahui. Karena Dia memang adalah Sang Mengajarkan (Rabbi) kepada manusia apa yang tidak diketahuinya, ’allamal insaana maa lam ya’lam…’. Masak sih nggak percaya?. Nantinya, barulah setiap pengajaran yang kita terima itu kita lihat di peta atau referensi yang sudah ada. Kita sudah sampai dimana, ada dimana, hendak dibawa kearah mana, sedang mengalami apa, sedang merasakan apa, dan sebagainya.
Sekarang pintar-pintarnya kita saja untuk mencari referensi yang terbaik diantara referensi-referensi yang ada. Kita mau pakai peta yang bagaimana untuk meningkatkan kesadaran kita dari hidup yang hanya sekedar berkutat dengan wujud yang kosong menjadi hidup yang penuh keheran-heranan melihat pada yang kosong ini ternyata ada keberartian, ada keberadaan. ADA…
Peta terbaik, diantara peta-peta yang ada, menurut saya adalah Al Qur’an. Ya Insya Alloh… Al Qur’an. Peta yang memuat ilmu tentang segala keberadaan dan keberartian, sekaligus juga ilmu tentang semua ketidakberadaan dan ketidakberartian. Nah…, bagi yang mau, ikuti sajalah peta itu dengan telaten.
Setiap membaca sebuah ayat Al Qur’an, misalnya yang menerangkan tentang sebuah kebaikan, selalulah lihat ke dalam DADA kita sendiri. Lalu amatilah apakah suasana dada kita itu sama dengan suasana yang disebutkan oleh ayat Al Qur’an tentang kebaikan tersebut. Karena semua kebaikan pastilah punya suasana yang khas didalam dada kita. Kalau sama, maka kita namanya sudah menjadi orang yang bersaksi (syahid) terhadap kebenaran ayat tentang kebaikan tersebut. Artinya dada kita saat itu adalah Al Qur’an itu sendiri. Al Qur’an yang berjalan dibagian kebaikan.
Begitu juga saat kita membaca sebuah ayat Al Qur’an tentang keburukan, atau paling tidak tentang serba kebingungan kita tentang selendang Allah, misalnya, maka buru-buru pulalah lihat DADA kita. Amatilah suasana dada kita. Apakah dada kita juga tengah penuh dengan suasana keburukan atau serba kebingungan tentang Allah?. Kalau ya, maka namanya dada kita itu juga sedang sama dengan Al Qur’an, tapi dibagian yang tidak baiknya. Kita telah menjadi Al Qur’an yang berjalan tapi pada bagian tentang keburukan.
Jadi seperti apapun suasana DADA kita itu (termasuk suasana isi otak kita), pastilah sama dengan salah satu atau banyak ayat-ayat al Qur’an. Karena Al Qur’an memang adalah gambaran dari segala kemungkinan suasana dada dan otak seluruh umat manusia dari zaman ke zaman. Oleh sebab itu setiap kita membaca ayat Al Qur’an, janganlah menganggap bahwa ayat tersebut adalah untuk orang lain. Jangan…!. Sebab ayat itu adalah untuk diri kita sendiri. Agar supaya kita menjadi saksi atas kebenaran tentang adanya kebaikan dan keburukan berikut dengan segala suasananya yang ada.
Kalau sudah bersaksi, maka barulah kita bisa menceritakan tentang apa-apa yang kita persaksikan itu. Kalau belum bersaksi, tapi kita sudah berani-beraninya bercerita tentang segala sesuatu yang suasananya belum ada didalam dada kita, maka manfaatnya nyaris tidak akan ada bagi orang lain yang mendengarkan atau membacanya. Paling hanya sekedar akan menjadi ilmu semata yang menyesaki otak mereka. Oleh sebab itu Allah memperingatkan kita bahwa:
”Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (alami)”. (Ash Shaff 61:3)
Al Qur’an menegaskan bahwa ada Allah yang meliputi segala sesuatu. Oleh sebab itu siap-siaplah untuk menerima kenyataan bahwa pada kekosongan ini ternyata ada SANG ADA, yang mengaku dengan sangat tegas: ”innani anallah laa ilaha illa ana fa’budni wa aqimish shalaata lidzikri… Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”, (Thaha 14).
Begitu SANG ADA menanamkan pengertiannya didalam dada kita: ”innani anallah….”, maka tegaskanlah, isbatkanlah: ILLA ALLAH…, ILLA ANTA…, ILLA ANTA…, ILLA ANTA…, Benar Ya Allah, Hanya Paduka saja yang ada, hanya Paduka saja yang hak, hanya Paduka saja yang ada …”. ADA…, ADH DHAHIRU, DZA LIKAL KITAB…
Kalau Sang Ada sudah bernyata didepan kita, ADH DHAHIRU, ADA…, maka barulah panggil Dia dengan merendah-rendah:”Ya Allah…, Ya Allah…, Ya Allah…”. Artinya, saat kita memanggil Dia, kita tidak lagi mengarahkan kesadaran kita kepada materi apapun juga yang bisa divisualkan, dibayangkan, didengarkan, dirasakan, dan diemosikan. Kita semata-mata menghadapkan seluruh kesadaran kita hanya dan hanya kepada WAJAH ALLAH, Sang Ada…
Ya…, syahadat, sebagai pelajaran pertama saat kita mengaku sebagai seorang yang percaya (beriman kepada Allah), adalah untuk menyadari dengan UTUH dan PENUH tentang: ”laa ilaha illaallah”. ALLAH…, Dialah Al Bathinu, KOSONG, Alif Lam Mim…, dan Dia pulalah Adh Dhahiru, ADA….”. KOSONG Yang ABADI dan sekaligus pula ADA Yang ABADI…
Atau dalam tatanan kalimat yang sangat sederhana adalah: Aku tidak akan pernah mengaku apapun juga, biarlah Allah saja yang mengaku-ngaku tentang apapun juga. Aku tiada, yang ada adalah Allah. Kullu man alaiha faanin, wa yabqa wajhu rabbika (Al Rahman 26-27).
Lalu setiap saat SANG ADA akan selalu menuntun kita untuk segera mengaturkan sembah kepada-Nya. Setiap kita memanggil-Nya: ”ya Allah”, maka Dia akan tuntun kita: ”fa’budni, ya hamba-Ku, sembahlah Aku…, mengabdilah kepada Aku…”.
Begitu kita panggil Dia: ”Ya Allah…”, mata kita ditundukkan-Nya: ”Wahai mata, merunduklah kepada-Ku. Rasakanlah seperti apa yang juga dirasakan oleh hamba-hamba-Ku yang saleh lainnya tentang bagaimana cara seharusnya hamba-Ku menyembah-Ku. Merunduklah…”. Dan matapun melepaskan bebannya berupa butir-butir bening lembut yang mengalir deras tak tertahankan. Semakin kita panggil Dia, mata kitapun semakin didudukkan-Nya dalam posisi persembahan. Lihatlah bagaimana mata kita menyembah Tuhan-Nya dengan caranya sendiri. Menangis. Biarkan sajalah sang mata menyelesaikan prosesi penyembahannya itu sampai tuntas. Diam.
Saat kita panggil Allah, kulit kitapun ditundukkan oleh Allah sendiri dalam posisi persembahan kepada-Nya. ”Wahai kulit…, merunduklah kepada-Ku…, fa’budni…”. Dan setiap inchi kulit kitapun bergetar halus menyampaikan sembah kepada-Nya. Boleh jadi pada awalnya prosesi tersungkurnya kulit kita itu dihadapan Allah dengan getaran yang agak kasar. Akan tetapi biarkan sajalah kulit kita itu menyesesaikan tugasnya sendiri dalam menyembah Allah. Lihatlah betapa kulit kita bergetar, bulu-bulu halus kita bergetar, tangan kita bergetar, tubuh kita bergetar saat mereka didudukkan oleh Allah dalam posisi persembahan.
Tidak hanya itu, atom-atom tubuh kitapun didudukkan Allah dalam posisi persembahan kepada-Nya. Atom-atom tubuh kita itu dibersihkan dan dimandikan oleh Allah dengan Nur dari-Nya: ”fahua ’alaa nuurin mirrabbihi…”, sehingga sang atom itupun seperti berubah menjadi kupu-kupu yang menari riang menyambut fajar yang sedang merekah bagi sebuah kesempurnaan. Atom-atom tubuh kita yang tadinya gelap karena bekas-bekas keangkuhan, dosa-dosa, dan kekotoran kita, dicelup oleh Allah menjadi atom-atom yang penuh oleh liputan cahaya iman, islam, dan ihsan…
Biarkan sajalah proses itu berlangsung untuk beberapa saat. Karena sebenarnya saat itu kulit kita dan atom-atom tubuh kita sedang dituntun sendiri oleh Allah untuk menuju posisi persembahannya yang sebenarnya. Posisi TALINU (rileks, lembut, bergetar halus). Diam.
Ketika kita terus memanggil Allah dengan lembut, tubuh kitapun akan dituntun sendiri oleh Allah untuk menyampaikan sembah dan sujudnya kepada Allah. ”wahai tubuh…, warka’uni…, wasjudni…, waqtarib…, rukuklah kepada-Ku, sujudlah kepada-Ku, marilah mendekat…!”. Dengan cara mulai dari yang agak keras sampai kepada cara-cara yang sangat santun dan halus, tubuh kita akan dituntun oleh Allah untuk rukuk dan sujud kepada Allah Sendiri. Karena memang cara penyembahan tubuh kita kepada Allah adalah dengan cara itu. Rukuk dan sujud. Ikuti sajalah prosesi penyembahan tubuh kita kepada Allah ini sampai selesai. Diam.
Begitulah, mata kita, kulit kita, tubuh kita, dan bahkan hati (dada, sudur) kita secara telaten dituntun sendiri oleh Allah untuk menyembah Allah. Dada kita akan direkahkan sendiri oleh Allah untuk menjadi luas, tenang, damai, dan tentu saja bahagia. Kita hanya menikmati saja kesemuanya itu dengan rasa terheran-heran. Dan kalau sudah begitu, maka kita tinggal ikuti saja perintah Allah berikutnya, yaitu ”wa aqimish shalaata lidzikri…”.
Ya…, dirikan sajalah shalat dalam suasana mata, kulit, tubuh, dan dada kita menyembah Allah dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak usah diganggu. Dan kesemuanya itu akan selalu membawa kita untuk ingat dan sadar bahwa benar Allah adalah Tuhan kita yang maha meliputi segala sesuatu. Kita tinggal siap-siap saja lagi untuk menerima pencerahan demi pencerahan yang memang kita butuhkan dalam hidup kita ini, sebagai bekal kita dalam menjalankan tugas kita sebagai wakil Allah, kurir Allah, duta Allah dialam dunia ini. …
Jadi selalu begitu: KOSONG (al bathinu, Alif Lam Mim), DEKONSENTRASI, MEMANCAR KE SINI, lalu siap-siaplah untuk menyadari bahwa pada saat yang sama ada SANG ADA (adh dhahiru, dzaa likal kitab). KOSONG dan ADA, Al Bathinu dan Adh Dhahiru, ya… SATU. INI…!. Masak sih hanya sampai ketemu yang KOSONG saja, ya bingunglah jadinya. Kalau kosong, ya… namanya baru sadar akan Al Bathinu. Sampai ketemu ADA gitu lho…, Adh Dhahiru. INI…
Jika Sang ADA sudah bernyata dalam ketiadaan apapun juga (KOSONG), maka kita tinggal bersiap-siap saja lagi dituntun oleh ALLAH sendiri untuk mengenal, memahami, dan menyampaikan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan kita sendiri. Karena Sang ADA memang telah meletakkan dalam liputan-Nya paling tidak sembilan puluh sembilan (99) Nama-Nya yang menunjukkan aktifitas-Nya (Af’al-Nya) dalam menata seluruh alam yang diliputi-Nya. Dimana ke 99 nama-Nya yang menunjukkan sifat, selendang, aktifitas, atribut-Nya itu tepat berada dalam liputan-Nya sendiri. Sehingga dengan gagah perkasa Dia berhak bersabda: ”semua sebutan nama itu adalah milik-Ku, oleh sebab itu menghambalah kepada Aku saja…”.
Lalu kita perhambakan saja diri kita kepada Dia. Ya…, kita ikuti saja apapun permintaan-Nya ”seirama” dengan mata kita, telinga kita, kulit kita, dada kita, tubuh kita yang dengan caranya sendiri-sendiri ikut permintaan Allah pula, yaitu dengan DIAM, TENANG, LEMBUT (TALINU). Dan Allah kemudian menyatakan bahwa posisi terbaik untuk menghamba kepada-Nya adalah dengan mendirikan SHALAT.
Karena shalat memang diperuntukkan buat kita agar kita selalu bisa sadar penuh kepada Allah. Dari awal shalat (takbiratul ihram) sampai dengan salam tidak sehirupan nafaspun kita terjauhkan dari Allah. Dalam shalat kita selalu diajak untuk memandang Wajah Allah, memuja Allah, memuji Allah, menyembah Allah, merukui Allah menyujudi Allah, berbicara dengan Allah, berdoa kepada Allah, dan tentu saja untuk setiap aktifitas kita itu pasti ada respon dari Allah, karena Dia memang ADA…
”innani anallah laa ilaha illa ana fa’budni wa aqimish shalaata lidzikri… Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka meghambalah, mengabdilah kepada Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”, (Thaha 14).
Jadi ”laa ilaha illaallah” itu sebenarnya bukanlah hanya sekedar sebuah bacaan ringan dan berguman dilidah dan dibibir saja. Tetapi itu adalah sebuah proses yang sangat lembut dan mengharukan yang membawa kita mampu untuk menjadi saksi atas diri kita yang kehilangan segala pengakuan kita. Kosong, diam, hening, abadi. Dan dengan seketika itu pula kita akan menjadi saksi bahwa pada Wujud Keabadian itu ada SANG ADA, yang mengaku namanya adalah ALLAH. Karena kita bersaksi kepada-Nya, maka Dia pun akan bersaksi pula kepada kita. Karena Dia memang adalah Sang Maha Bersaksi, Asy Syahiid. Setelah itu kitapun siap-siap dan bersedia untuk dijadikan-Nya sebagai hambanya, pesuruhnya, abdi-Nya, kurir-Nya dalam menyampaikan Sifat-Nya dan Af’al-Nya untuk merahmati manusia dan alam semesta disekitar kita.
Pada waktu-waktu tertentu kita tinggal duduk merendah-rendah, bersimpuh, rukuk, sujud dan DIAM di depan Wujud-Nya dalam ritual SHALAT sebagai sarana kita untuk minta pertolongan, minta petunjuk, minta penilaian kepada-Nya atas apa-apa yang akan dan yang sudah kita kerjakan. Wasta’inu bish shabri wash shalah…, mintalah pertolongan kepada ku dengan SABAR (DIAM) dan SHALAT…( Al Baqarah 45). Dan pastilah dia akan memberikan jawaban dalam bentuh ILHAM (alhamaha), berupa solusi, jalan keluar dari segenap masalah kita, dan rezki dari pintu yang tidak kita sangka-sangka. Akhirnya tidak ada sikap lain yang bisa kita tunjukkan kecuali sikap syukur kita, yang kemudian dibalas berlipat kali oleh Allah dengan Syukur dari-Nya. Karena Dia memang adalah Asy Syakuur, Sang Maha Bersyukur. Sehingga akhirnya yang tersisa pada diri kita hanyalah rasa IMAN yang bertambah dan bertambah kepadanya. Karena setiap rasa iman kita kepada-Nya akan dibalasnya dengan Iman dari-Nya. Sebab Dia memang adalah Sang Maha Beriman, Al Mu’min.
Jadi proses laa ilaha illah itu ternyata puncaknya adalah rasa IMAN kepada Allah. Dengan kata lain, iman inilah puncak ilmu spiritual yang sebenarnya, yang sudah kita lupakan sedemikian lamanya. Ya…, rasa Iman kepada Allah lah ILMU YANG TERTINGGI yang bisa kita dapatkan dalam sebuah proses beragama. Sedangkan hal-hal yang lainnya hanyalah merupakan aktifitas yang menandakan bahwa kita ini hanyalah abdi Allah, hamba Allah, kurir Allah, khalifah Allah yang diturunkan-Nya kemuka bumi ini untuk berkarya dan berperadaban.
Allah – glory be to Him and may He be exalted! – has given inanimate objects awareness and perception by which they glorify their Lord. The stones fall down out of fear of Him. The mountains and trees prostrate. The pebbles, water, and plants glorify Him. All this is going on but we are not aware of it. Allah the Great said, “There is nothing which does not glorify His praise, but you do not understand their glorification”. (Quran 17:44) The companions heard the food that was being eaten glorifying Allah. That was because the companions had a transparency of heart that does not now exist among us. All these things are part of our world and yet we are in complete ignorance of them.
Truly in the heart there is a void that can not be removed except with the company of Allah. And in it there is a sadness that can not be removed except with the happiness of knowing Allah and being true to Him. And in it thereis an emptiness that can not be filled except with love for Him and by turning to Him and always remembering Him And if a person were given all of the world and what is in it, it would not fill this emptiness.
Bila Ada Kata yang Kurang Berkenan Insya alloh Semata-mata Hanya Wujud Kebodohan Diri….dan Ke alpaan Semua Semua Diri, Sajatinya Tiada Ilmu Tanpa Kepintaran, Tiada Bodoh Tanpa Berilmu dan Beramal..
Mudah2n aloh Memberkati Kita semua. amein.
Di Sunting dan Disarikan, Serta dikaji Dari:
[1]Shaykhul Islam al Hujjatul Islam
Abu Hamid al-Ghazzali
(as Sufi al Naqschibandi ra)
geb.1059 in Tus, Ostiran; gest.1111
bedeutendster shafiitischer Rechtsgelehrter und aschariitischer
Theologe des Islams ,Denker ,
lehrte an der Nizamiyya-Hochschule in Bagdad
[2] For a general discussion of the debate on Sufism in the twentieth century, see Carl W. Ernst, Sufism: An Essential Introduction to the Philosophy and Practice of the Mystical Tradition of Islam (Boston: Shambhala, 1997), 199-228; Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti-Sufis: The Defence, Rethinking and Rejection of Sufism in the Modern World (Richmond, Surrey: Curzon Press, 1999), chs. 4-6.
[3] Linda Schatkowski Schilcher, Families in Politics: Damascene Factions and Estates of the 18th and 19th Centuries (Stuttgart: Steiner Verlag, 1985), 194-196; Zaim Khenchelaoui and Thierry Zarcone, “La Famille Jilânî de Hama – Syrie (Bayt al- Jilânî),” Journal of the History of Sufism, 1-2 (2000), 61-71.
[4] Linda Schatkowski Schilcher, Families in Politics: Damascene Factions and Estates of the 18th and 19th Centuries (Stuttgart: Steiner Verlag, 1985), 194-196; Zaim Khenchelaoui and Thierry Zarcone, “La Famille Jilânî de Hama – Syrie (Bayt al- Jilânî),” Journal of the History of Sufism, 1-2 (2000), 61-71.
[5] Muhammad Abu al-Yusr ‘Abidin, Hakaya al-Sufiyya (Damascus: Dar al-basha’ir, 1993).
[6] ‘Imad ‘Abd al-Latif Naddaf, Al-Shaykh Ahmad Kuftaru yatahaddath (Beirut: Dar al-rashid, 1997), 150-192. Stenberg reports that among Kuftaro’s young adherents the ideas of Hasan al-Banna are well-known and widely discussed. @@@