Sabtu, 28 Juni 2014

MENYOROT GERAKAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA

Oleh Ki Juru Angon

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para da’i muslim sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab, Persia, India, bahkan Cina. Kedatangan mereka ke Indonesia bukan saja untuk memperkenalkan Islam tetapi juga dengan membawa seperangkat keilmuan Islam yang sudah mengalami proses pengembangan di tanah asalnya, Timur Tengah. Proses Islamisasi di Indonesia pada awal sejarahnya relatif berjalan mulus berkat kepiawaian para da’i imigran muslim.

Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (baca: Nusantara) telah menganut agama, baik yang masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun yang sudah berbentuk formal religion, yakni agama Hindu dan Budha. Namun demikian, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan Islam tidak diikuti dengan konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan Islamisasi generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor strategi dakwah dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri. Dilihat dari strategi dakwah, para da’i muslim berhasil melakukan pendekatan persuatif, kultural, dan politik terhadap penduduk Indonesia. Sementara menyangkut content atau materi dakwahnya, penduduk pribumi tampaknya tertarik dengan agama baru tersebut karena beberapa hal, antara lain; prinsip egalitarian atau kesejajaran manusia pada satu sisi, dan corak sufistik yang mewarnai Islam yang dibawa oleh para da’i imigran tersebut pada sisi yang lain.

Isu kesamaan derajat yang dibawa Islam tentu menarik kalangan pribumi, terutama di kalangan yang selama ini hidup dalam strata atau kasta rendah yang sering menjadi objek eksploitasi oleh kasta di atasnya dengan mengatasnamakan agama. Pada sisi lain, corak Islam sufistik juga menarik perhatian penduduk pribumi karena adanya titik-titik persamaan dengan kepercayaan dan agama mereka. Islam sufistik yang sarat dengan ajaran moral dan kontemplatif tidak begitu asing bagi tradisi masyarakat setempat. Itulah mengapa Islam bisa diterima secara damai oleh penduduk pribumi atau setidaknya bisa hidup berdampingan dengan agama lain selama berabad-abad. Persoalan baru muncul ketika di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh gelombang kesadaran baru untuk mengedepankan corak Islam yang lebih puritan dan formal.

Gelombang puritanisme
Sampai dengan pertengahan abad ke-19, corak Islam Indonesia masih diwarnai tradisi sufistik yang melembaga dalam bentuk tarekat, seperti Idrusiyah (dibawa Nuruddin ar-Raniri, w.1658), Sattariyah (dikenalkan as-Singkili, w.1693), Khalwatiyah (dikenalkan oleh Yusuf al-Makassari, w.1699), Sammaniyah (dibawa oleh Abdushamad al-Palimbani, w.1789), Qadiriyah-Naqsabandiyah (diformulasikan oleh Ahmad Khathib Sambas, l.1805), dan lain-lain. Di samping sufistik, Islam Indonesia juga ditandai dengan pengadopsian hukum-hukum fiqh hasil ijtihad para imam mazhab, terutama Syafi’iyah. Sementara itu, terkait dengan doktrin teologi, umat Islam Indonesia terbiasa dengan ajaran Sunni, terutama Asy’ariyah.

Sampai dengan abad ke-19, pengamalan Islam sufistik ternyata tidak hanya di Indonesia, tetapi telah menjadi trends keberagamaan umat Islam di berbagai penjuru dunia, termasuk di Timur Tengah. Mekkah dan Madinah pada saat itu menjadi pusat pengajaran Islam yang sekaligus pusat ajaran sufi. Sejumlah ulama Indonesia tercatat sebagai alumni Mekkah-Madinah yang sekaligus transmiter dan mursyid tarekat di Indonesia.

Praktek-praktek sufi di tanah Arab belakangan dikritik oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w.1792). Dalam pandangannya, praktek-praktek sufistik telah menyimpang dari ajaran Islam generasi Nabi, sahabat, dan tabi’in, karena penuh dengan bid’ah, syirik dan khurafat. Oleh karena itu, harus ada upaya “sistematis” untuk mengembalikan umat kepada Islam yang murni, yang puritan, sebagaimana dipraktekkan oleh tiga generasi terbaik umat ini atau as-salaf ash-shalih. Itulah mengapa gerakan pemurnian in sering disebut dengan Wahhabi dan belakangan dikenal dengan Salafi.

Dalam menjalankan misinya, Wahhabi sering bertindak keras, tanpa kompromi, bahkan melakukan konspirasi politik dengan Dinasti Saud yang punya kepentingan untuk menasionalisai Arab dari kekuasaan Kekhalifahan Turki Usmani di Istanbul. Hubungan mutualisme Wahhabi-Saudi bertahan hingga sekarang, karena Wahhabi dijadikan sebagai faham resmi pemerintah.

Gerakan Wahhabi ternyata berimbas ke Indonesia. Jika di masa lampau, kaum Paderi di Sumatera Barat yang menjadi agennya, dan sedikit banyak Muhammadiyah, maka di era sekarang ini, pengimpor utama faham Wahhabi adalah kelompok Salafiyun. Dukungan finansial juga diberikan pemerintah Saudi kepada lembaga sosial yang mau diajak “kerjasama”.

Pada tataran wacana, sebenarnya perbedaan dalam memahami ajaran Islam sudah menjadi hal yang biasa. Yang menjadi masalah adalah ketika terjadi pemaksaan pendapat dengan cara-cara yang tidak santun dan cenderung menyalahkan pihak lain. Ketika hal ini terjadi, maka ketegangan di antara berbagai varian Islam tidak bisa dihindari.

Gejala Arabisasi
Bahwa Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh Arab (Timur Tengah) adalah kenyataan sosio-historis, mengingat posisi Indonesia yang merupakan wilayah pinggiran. Namun ketika pengaruh itu berlangsung secara massif dan sangat kuat, maka yang terjadi justeru “Arabisasi” Islam Indonesia, yakni peniruan secara total tradisi berpikir dan budaya Arab oleh umat Islam Indonesia. Gejala ini tampak dalam bentuk, pertama, muncul organisasi sosial maupun politik umat Islam Indonesia yang mengadopsi platform perjuangan organisasi induknya di Timur Tengah. Kedua, kemiripan pola-pola pengkaderan, idiom, dan simbol-simbol yang digunakan antara ormas Islam tertentu dengan organisasi sejenis di Timur Tengah. Ketiga, belakangan ini muncul model dan gaya berpakaian di kalangan sebagian umat Islam Indonesia yang meniru tradisi orang Arab.

Gejala Arabisasi ini bukan tidak mungkin akan mengikis identitas umat Islam Indonesia yang telah dibangun sejak lama. Mengingat perbedaan geografis, sosiologis, politik, dan kultural serta perbedaan problem dan tantangan yang dihadapi antara umat Islam Indonesia dengan Timur Tengah, maka sudah sepantasnya dilakukan usaha-usaha membumikan Islam agar sesuai dengan karakter keindonesiaan bukan lagi model Islam Timur Tengah yang dipaksakan di Indonesia. Dengan demikian Islamisasi tidak berarti Arabisasi. @@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar